Google
Your Ad Here

Sabtu, 19 April 2008

Limbah Padi Untuk Pembangkit Listrik

Limbah padi yang selama ini terbuang begitu saja, ternyata dapat diolah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis.
Asosiasi Petani Palawija Indonesia (AP3I) merancang pemanfaatan limbah padi menjadi pembangkit listrik.

Menurut AP3I Edianto Prasetyo, selama ini limbah padi seperti sekam dan jerami kurang dimanfaatkan, bahkan sering dibakar begitu saja seusai panen. Karena dia merancang proyek pemanfaatan limbah padi ini dinamai Energi Biomassa dan pengembangannya akan dipusatkan di kabupaten Tabanan, Bali.

Namun demikian, sambung Edi, setelah dilakukan survei, bahan baku pemabngkit ini belum mencukupi, sehingga memerlukan pasokan limbah padi dari daerah lain seperti Denpasar, Badung, Klungkung dan Gianyar. "Karena untuk menghasilkan daya 10 MW memerlukan tidak kurang 120 ribu ton sekam dan padi per tahun," jelasnya, di Bali, Sabtu (19/4/2008).

Dengan kebutuhan sebanyak ini dia berharap limbah padi yang selama ini terbuang begitu saja dapat diolah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis. Apalagi jika didukung dengan bahwa lahan pertanian di Denpasar masih cukup luas yakni 217 hektare (Dede Suryana)

Ahmadinejad: Harga Minyak Masih Murah

Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menilai, kenaikan harga minyak yang telah memecahkan rekor dengan tembus USD116 per barel, masih terjangkau.

"Harga minyak lebih dari USD115 per barel. Minyak adalah komoditas strategis dan minyak harus mencari harga yang sesungguhnya," ujar Presiden negara penghasil minyak terbesar keempat di dunia itu, seperti dikutip AFP, Sabtu (19/4/2008).

Sementara itu, Menteri Perminyakaan Gholam Hossein Nozari, menolak ajakan para negara kartel minyak untuk menyuplai minyak sebagai bentuk pengendalian harga energi tak terbarukan tersebut. ?

"Ketika harga minyak sudah mapan dan suplai lebih tinggi ketimbang permintaan, maka situasi tersebut bisa disalahgunakan," ujar Gholam.

Sebelumnya, The Organisation of Petroleum Exporting (OPEC) juga menolak adanya kenaikan suplai minyak dunia. Ahmadinejad juga telah menyarankan agar minyak tidak diperjualbelikan dalam denominasi dolar Amerika Serikat (USD).

"Tidak lama lagi USD tidak berperan dalam sistem ekonomi dunia. Mereka hanya mencetaknya dan menyebarluaskan di seluruh dunia tanpa ada komoditas yang mendukungnya," tegas Ahmadinejad.

Sekadar diketahui, Negeri Seribu Satu Malam itu secara agresif mengurangi ketergantungan terhadap USD sejak beberapa tahun yang lalu. Langkah itu menyusul ketegangan di Timur Tengah akibat invasi AS dan larangan penggunaan senjata nuklir, yang ditebarkan oleh Negeri Adidaya tersebut. Kondisi itu berdampak negatif terhadap harga minyak, yang langsung meroket.

Saat ini, justru Amerika Serikat tengah menghadapi resesi ekonomi. Mata uangnya jatuh dan berdampak luas terhadap ekonomi global. Cadangan minyak mentah AS juga merosot tajam.

dikutip dari okezone.com 19 April 08

Pecahkan Rekor, Harga Minyak Nyaris USD117

Harga minyak semakin mengkhawatirkan. Banderol energi tak terbarukan ini terus bergerak liar dan memecahkan rekor tertinggi, dengan tembus USD116 per barel dan nyaris sentuh USD117 per barel.

Harga minyak yang terus bergerak tidak terkendali ini adalah akumulasi kondisi ekonomi global yang makin tidak karuan. Mulai dari tingginya volatilitas nilai tukar dolar Amerika Serikat, ancaman inflasi dunia, dan berbagai ketegangan di negara produsen antara lain Iran dan Nigeria.

Harga minyak jenis Light Sweet untuk pengiriman Mei di papan elektronik perdagangan New York Mercahntile Excahnge, Jumat 18 April waktu setempat, meningkat signifikan USD1,83 per barel ke posisi USD116,69 per barel.

Seperti dikutip Associated Press (AP) Sabtu (19/4/2008), sejumlah analis memprediksikan, pemangkasan tingkat suku bunga Amerika Serikat atau The Fed rate, menjadi titik api penyulut kenaikan harga minyak ini.

dikutip dari Okezone.com 19 April 08

Sabtu, 15 September 2007

Memacu Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah

BESAR atau kecil, fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai bunga bank merupakan sesuatu yang riba, dampaknya pasti ada dalam gerak dinamis bisnis keuangan berbasis syariah di Tanah Air, khususnya perbankan syariah. Itu dapat dilihat, sebagaimana diakui juga oleh Bank Indonesia, dengan meningkatnya dana masyarakat yang terjaring masuk ke dalam sistem perbankan syariah walaupun upaya dari kalangan pelaku bisnis perbankan syariah harus diakui tidak kecil.

FATWA dari MUI sesungguhnya hanyalah penegasan kembali soal riba tersebut. Diskusi itu sendiri telah berlangsung sedemikian lama. Cuma, kali ini fatwa MUI seolah menemukan momentum tepat. Ketika pada awal berkembangnya diskusi itu, "kegelisahan" MUI tersebut sepertinya belum menemukan saluran.

Itu karena alternatif pilihan masyarakat dalam lingkaran besar perbankan nasional memang belum begitu terbuka. Praktis hanya Bank Muamalat Indonesia yang menyediakan alternatif syariah. Itu pun dengan produk yang masih "terbatas". Tatkala bisnis perbankan syariah mulai merambah di tubuh perbankan nasional, pasar finansial mulai menerimanya, "siraman rohani" para ulama itu, diakui atau tidak, telah mempercepat pertumbuhan "tanaman" bisnis syariah.

Dalam beberapa bulan saja setelah fatwa pada akhir tahun lalu itu, lonjakan dana masyarakat ke perbankan syariah terjadi cukup signifikan. Tentu saja kondisi itu tidak lepas dari perkembangan kelembagaan dan infrastruktur perbankan syariah yang telah mulai menggeliat sampai ke kota-kota besar di luar Pulau Jawa.

Menurut data terbaru yang diperoleh dari Bank Indonesia, sampai Februari 2004, kini terdapat dua bank umum syariah, yakni Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri. Adapun bank umum yang menyelenggarakan unit usaha syariah sudah ada delapan, yakni Bank IFI, Bank BNI, Bank Jabar, Bank BRI, Bank Danamon, Bank Bukopin, Bank Internasional Indonesia, dan yang terakhir adalah Hongkong Sanghai Banking Corporation (HSBC), plus 82 bank perkreditan syariah.

Kesemuanya itu memiliki 92 kantor pusat, 120 kantor pusat operasional, 26 kantor cabang pembantu, dan 114 kantor kas (termasuk gerai).

Dengan jaringan sebanyak itu, perbankan syariah nasional per Januari 2004 telah memiliki aset dan kewajiban sebesar Rp 8,757 triliun (tidak termasuk aset BPR Syariah). Bila dibandingkan dengan posisi aset per November 2003 saja sebesar Rp 7,4 triliun dengan posisi akhir tahun 2002, maka pertumbuhannya mencapai lebih dari 84 persen, yang merupakan pertumbuhan tertinggi selama tiga tahun terakhir. Dengan peningkatan itu, pangsa total aset perbankan syariah terhadap total aset perbankan nasional meningkat dari 0,4 persen akhir tahun 2002 menjadi 0,6 persen pada posisi November 2003.

Adapun komposisi dana pihak ketiga per Januari 2004 mencapai Rp 6,6 triliun yang terdiri atas giro wadiah 10,04 persen, tabungan mudharabah 28,75 persen, dan deposito mudharabah 61,22 persen. Sementara pembiayaan yang diberikan mencapai Rp 5,86 triliun.

Dengan demikian, rasio pembiayaan yang diberikan terhadap dana pihak ketiga mencapai 88,49 persen. Tentu saja dari segi persentase cukup tinggi karena rasio serupa dalam perbankan nasional yang biasa disebut loan to deposit ratio (LDR/rasio kredit terhadap dana pihak ketiga) baru sekitar 50 persen. Tingkat pembiayaan yang bermasalah perbankan syariah hanya 2,62 persen.

Penghimpunan dana perbankan syariah memang mengalami peningkatan yang sangat signifikan selama periode 2003 itu. Dana pihak ketiga (DPK) meningkat 76,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan itu terjadi pada semua komponen.

Deposito yang memang masih mendominasi DPK perbankan syariah (komposisinya naik dari 59,8 persen pada akhir tahun 2002 menjadi 61,6 persen pada akhir 2003), tumbuh sebesar 82,5 persen. Adapun pembiayaannya tumbuh sebesar 66,8 persen dari Rp 3,3 triliun menjadi Rp 5,5 triliun pada akhir November 2003.

Dengan begitu, maka financing to deposit ratio (FDR) mencapai 106 persen. Tetapi, porsi ini turun dibandingkan FDR per Januari 2004 yang hanya mencapai 88,49 persen. Hal ini terjadi karena laju masuknya dana jauh lebih cepat ketimbang kemampuan perbankan syariah menyalurkan dana kepada dunia usaha sektor riil.

Karena itu, akhirnya mereka melemparkan kelebihan likuiditasnya itu masuk ke Bank Indonesia, seperti Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI, seperti Sertifikat Bank Indonesia untuk bank konvensional) yang mencapai Rp 1,62 triliun pada akhir 2003.

SECARA umum, menurut laporan perekonomian 2003 oleh BI, kondisi solvabilitas perbankan syariah dalam empat tahun terakhir cukup baik meskipun ada kecenderungan menurun. Hal itu tampak dari sisi rasio kecukupan modal (CAR), baik bank umum syariah maupun unit usaha syariah yang tetap di atas delapan persen.

Akan tetapi, ini menjadi peringatan, sebab jika dalam jangka pendek kecenderungan penurunan itu berlanjut, perbankan syariah mau tak mau harus menambah modal agar CAR di atas delapan persen tetap terjaga.

Dari sisi profitabilitas, pada tahun laporan itu, secara keseluruhan perbankan syariah berhasil membukukan keuntungan sebesar Rp 48,5 miliar dengan rata-rata rasio keuntungan terhadap aset (return on asset/ ROA) sebesar 0,65 persen. Relatif rendahnya ROA tersebut, menurut BI, karena adanya unit usaha syariah yang belum berhasil membukukan keuntungan. Tentu ini merupakan tantangan di tengah peluang yang semakin terbuka lebar.

Lalu, bagaimana?

Semakin luasnya jaringan perbankan syariah dengan memanfaatkan kerja sama dengan sesama lembaga keuangan, begitu juga lembaga lain seperti kantor pos, pemanfaatan teknologi seperti ATM, jelas membuat perbankan syariah semakin dekat dengan masyarakat.

Apabila kita lihat titik-titik pelayanan yang semakin luas dan dengan semakin beragamnya produk perbankan syariah, rasanya pantas jika pelaku bisnis perbankan syariah menyemai suatu optimisme. Tentu saja optimisme itu tidak hanya berhenti sebatas apa yang telah dicapai saat ini.

Pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana akselerasi perkembangan perbankan syariah di tengah masyarakat Indonesia yang berpopulasi sekitar 220 juta jiwa. Jika kita mengambil porsi yang signifikan saja dari potensi itu, tentu saja bukan hal yang mustahil jika bisnis perbankan syariah akan melesat, sebagaimana di negara tetangga, Malaysia, misalnya.

Daya dorong akselerasi itu bisa bersumber dari faktor eksternal dan faktor internal perbankan syariah sendiri. Faktor internal adalah bagaimana perbankan syariah itu sendiri- untuk tahap awal yang saat ini masih dalam proses pertumbuhan-tidak saling mematikan. Artinya, persaingan secara sehat harus diutamakan, ketimbang melejitnya segelintir saja, lalu ambruk sama-sama karena menguapnya kembali kepercayaan masyarakat yang sudah mulai terbangun.

Hal yang utama dan harus ditempatkan dalam prioritas tinggi adalah memelihara citra yang telah mulai terbangun agar perbankan syariah tetap terpercaya, andal, mudah diakses, dan memberikan kesejahteraan yang benar-benar adil bagi seluruh stakeholder-nya.

Terpercaya karena benar-benar menerapkan prinsip syariah yang adil secara ketat di segala bidang usahanya. Andal karena memiliki infrastruktur yang luas dan produk yang semakin beragam sehingga dapat memenuhi tuntutan dinamika aktivitas perbankan masyarakat yang bergerak sangat dinamis.

Di samping itu, dari sisi internal, adalah gerak padu pelaku bisnis perbankan syariah untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. Selain melalui media yang ada saat ini, seperti media cetak dan televisi, diperlukan pula upaya pengenalan melalui media modern, seperti Internet. Bahkan, kalau perlu tidak usah malu dengan kembali menggunakan media tradisional sekalipun, seperti media dakwah dari kalangan juru dakwah dan tokoh-tokoh tradisional karismatis.

Dakwah "tindakan dan lisan" dari tokoh-tokoh berpengaruh merupakan salah satu cara yang masih bisa ampuh di tengah masyarakat modern yang semakin merindukan adanya tokoh panutan yang konsisten antara lisan dan tindakannya. Jalur ini bisa dipakai untuk masuk ke dalam komunitas-komunitas yang lebih spesifik lagi untuk sampai ke akar-akar masyarakat yang merindukan prinsip utama syariah, yakni transparansi dan keadilan.

Misalnya, asosiasi perbankan syariah melakukan pelatihan atau lokakarya bagi juru-juru dakwah, tokoh-tokoh tradisional karismatis, untuk memberikan pemahaman yang mendalam kepada mereka tentang bisnis modern yang berbasis perbankan syariah.

Adapun faktor eksternalnya tidak lain bersumber dari komitmen BI dan Departemen Keuangan untuk membantu mendorong akselerasi yang bergerak lebih cepat dan lebih dinamis lagi. Tentu saja sebagai regulator, kewajiban kedua institusi itu secara akomodatif harus menyediakan aturan-aturan yang kondusif dan antisipatif sesuai tuntutan kebutuhan perkembangan perbankan syariah.
dikutip dari tulisan
Andi Suruji, Kompas, 01 April 2004

Memahami Produk Keuangan Syariah

ANDA tentu pernah mendengar istilah bank syariah. Atau bahkan lebih luas lagi, ekonomi berbasis syariah. Bahkan, boleh jadi banyak di antara Anda yang sudah menggunakan jasa lembaga keuangan syariah. Tetapi, bisa pula sebagian dari Anda menganggap bank syariah hanya untuk komunitas Muslim. Benarkah bank syariah hanya diperuntukkan bagi kaum Muslim?

Maaf, Anda keliru besar bila beranggapan seperti itu, sebab pada dasarnya bank syariah berlaku bagi semua orang. Jadi bersifat universal. Syariah hanyalah sebuah prinsip atau sistem, bisa dipergunakan siapa saja yang berminat. Prinsip syariah itu sendiri bukan hanya dalam konteks perbankan, tetapi meliputi berbagai kegiatan ekonomi dan investasi, termasuk di pasar modal.

Betapa pola syariah telah memberikan manfaat bagi banyak kalangan dapat dibuktikan ketika krisis moneter melanda Indonesia pada medio tahun 1997 silam. Anda tentu masih ingat, pada saat itu suku bunga pinjaman melambung hingga puluhan persen. Akibatnya, banyak pelaku usaha yang tidak mampu membayar. Tapi, fenomena seperti itu tidak berlaku bagi pelaku usaha yang menggunakan dana dari bank syariah sebagai modal usaha. Para pengusaha tersebut tidak perlu membayar bunga hingga puluhan persen. Mereka cukup berbagi keuntungan dengan pihak bank syariah. Namun, tentu saja persentase keuntungan yang dibagi tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu.

***

SECARA sederhana, ekonomi syariah adalah perekonomian atau transaksi ekonomi yang berbasiskan syariat Islam. Ada beragam jenis transaksi syariah.

Yang umum, antara lain adalah, murabahah. Dalam skim ini, terjadi jual beli suatu barang dengan tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak.

Kemudian, ada yang disebut mudharabah. Pola ini adalah transaksi dalam bentuk kerja sama antara dua belah pihak di mana pihak pertama menyerahkan modal untuk dikelola pihak kedua. Keuntungan yang diraih akan dibagi di antara para pihak tersebut yang besarnya tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

Ada pula musyarakah. Dalam model ini terjadi kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu. Para pihak yang bekerja sama memberikan kontribusi modal. Keuntungan maupun risiko usaha akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Lalu ijarah. Dalam pola ini, yang terjadi adalah pemindahaan hak guna atas suatu barang atau jasa, melalui pembayaran upah atau sewa, namun hak kepemilikan atas barang atau jasa tersebut tetap ada pada pihak semula.

Selanjutnya, salam. Di sini terjadi transaksi yang mana barangnya maupun pembayarannya baru akan dilakukan di kemudian hari. Lalu ada pula yang disebut dengan istihna. Maksudnya, terjadi jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan yang disepakati antara pembeli dan penjual.

Lantas bagaimana menafsirkan istilah-istilah tersebut dalam produk bank? Sederhana saja. Di bank konvensional, produk dana perbankan bisa diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yakni, giro, tabungan, dan deposito. Dari ketiga jenis produk dana tersebut, biasanya, tingkat bunga giro merupakan yang terendah, diikuti tabungan dan yang tertinggi adalah deposito.

Tentu menjadi pertanyaan, kenapa bunga giro rendah dan kenapa pula bunga deposito berjangka tinggi. Prinsipnya, giro merupakan dana yang ditempatkan di bank untuk keperluan dan kemudahan bertransaksi. Jadi bukan alat investasi. Tabungan pun bisa menjadi alat kemudahan bertransaksi melalui ATM, kartu debit dan sebagainya. Jadi, tingkat bunganya tidak terlalu tinggi. Berbeda dengan deposito berjangka di mana dananya tidak bisa diambil sebelum jatuh tempo sehingga diberikan imbalan bunga yang tinggi.

Giro di bank konvensional bisa disetarakan dengan wadiah (titipan) di bank syariah. Makanya, ada produk yang disebut dengan giro wadiah. Sementara untuk tabungan disetarakan dengan mudharabah (bagi hasil). Dus, ada produk bank syariah yang disebut dengan tabungan mudharabah. Begitu pula dengan deposito, disebut dengan deposito mudharabah.

Pertanyaannya, apa yang akan diperoleh pemilik dana jika menempatkan dananya di bank syariah? Dengan menggunakan prinsip wadiah dan mudharabah pemilik dana tidak mendapatkan bunga, tetapi nisbah pembagian keuntungan.

Dalam praktik bank-bank syariah di Indonesia, nisbah untuk tabungan berkisar antara 55-56 persen dari hasil investasi yang dilakukan bank. Dalam prinsip bank konvensional angka tersebut kira-kira setara dengan 11-12 persen. Lalu bagaimana dengan wadiah yang notebene adalah menitipkan uang di bank syariah? Memang tidak ada nisbah karena bersifat titipan, tetapi dalam periode tertentu, pemilik dana akan diberikan semacam bonus oleh bank syariah.

***

ITU mengenai produk-produk dana perbankan syariah. Bagaimana dengan produk yang analog dengan pembiayaan?

Sebagaimana dipaparkan di atas, ada yang disebut dengan musyarakah. Kongkretnya, kalau Anda memiliki usaha dan ingin mendapatkan tambahan modal maka bisa menggunakan produk musyarakah tersebut. Intinya, bank syariah dan Anda sama-sama memberikan kontribusi modal dan kemudian digunakan untuk menjalankan usaha. Porsi bank syariah itu nantinya akan diperlakukan sebagai penyertaan, di mana pembagian keuntungan disepakati bersama. Di bank konvensional, pembiayaan seperti itu mirip dengan kredit modal kerja.

Sebagian dari Anda boleh jadi juga membutuhkan kredit untuk membeli kendaraan. Lazimnya ini dikategorikan sebagai kredit konsumtif. Produk semacam itu juga disediakan bank syariah, tetapi tentu saja bukan dalam bentuk kredit melainkan menggunakan prinsip jual beli yang diistilahkan dengan murabahah. Artinya, bank syariah akan membelikan terlebih dahulu kendaraan yang Anda inginkan, kemudian menjualnya lagi kepada Anda. Tetapi, karena bank syariah telah "menalangi", maka pada saat menjual kepada Anda harganya sedikit lebih mahal, sebagai keuntungan bagi bank syariah. Misalnya, harga mobil kalau Anda beli secara langsung dan dibayar tunai adalah Rp 200 juta. Namun, karena bank syariah yang membelikan dan Anda akan membayar secara mencicil, maka harganya menjadi lebih mahal, misalnya menjadi Rp 250 juta.

Mungkin Anda bertanya, kalau seperti itu, apa bedanya dengan bank konvensional? Jelas berbeda. Jika di bank konvensional Anda dikenakan bunga dan bisa saja bunga tersebut berubah sewaktu-waktu, sementara di bank syariah Anda tidak dikenakan bunga dan nilai cicilan Anda pun relatif tetap.

Dalam realitasnya, prinsip syariah bukan sekadar di perbankan, tetapi juga bisa berlaku dalam investasi di pasar modal dan juga asuransi. Nah, saat ini pun sudah cukup banyak produk pasar modal berbasis syariah. Saham, misalnya. Ada yang disebut Jakarta Islamix Index (JII) yakni saham berkategori halal dan bisa dimiliki pemilik dana yang ingin berinvestasi dengan prinsip syariah.

Selain saham, ada pula reksadana syariah yang merupakan campuran investasi dalam bentuk saham halal dan campuran, yakni dana yang ditempatkan di Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA). Saat ini paling tidak ada empat jenis reksadana berbasis syariah di mana masing-masing reksadana itu secara empiris memberikan imbal hasil berbeda-beda. Data menunjukkan, dalam 30 hari terakhir tingkat keuntungan dari keempat reksadana tersebut berkisar antara 1-10 persen.

Kesimpulannya, produk-produk keuangan syariah sesungguhnya hanyalah sistem yang bisa digunakan siapa saja. Kalau Anda memiliki dana yang ingin ditumbuhkembangkan, tentu mesti melihat sistem mana yang paling memberikan keuntungan tinggi dan juga mungkin dikaitkan dengan prinsip atau kepercayaan yang Anda anut. Dus, produk keuangan syariah, mungkin bisa Anda pertimbangkan sebagai salah satu alternatif investasi Anda.
dikutip dari tulisan...
Elvyn G Masassya, Kompas,
29 Desember 2002

Mengenal Obligasi Syariah

PASAR modal syariah telah diluncurkan pada 14 Maret 2003. Muncul harapan bahwa pasar modal yang didasari prinsip-prinsip syariah dapat berkembang lebih besar lagi. Pasar modal syariah diharapkan dapat mendorong pertumbuhan institusi-institusi (lembaga keuangan) syariah dan instrumen-instrumen syariah. Salah satu instrumen syariah yang diperkirakan akan berkembang pesat adalah obligasi syariah.

MEMANG terdapat keterkaitan yang erat dalam upaya pengembangan pasar modal syariah ini. Pasar, instrumen, dan institusi menjadi komponen yang saling mendukung dalam sistem keuangan. Satu institusi akan membutuhkan pasar, instrumen, dan institusi lainnya. Ketika bank syariah dikembangkan, muncullah kebutuhan untuk membuat pasar uang syariah. Pada saat reksa dana syariah dimunculkan, perlu instrumen halal untuk penyaluran penempatan portfolio-nya. Demikian juga dengan asuransi dan dana pensiun syariah. Lembaga keuangan syariah ini memerlukan bank syariah, membutuhkan pasar modal syariah dengan saham halal dan obligasi syariahnya. Ketika suatu emiten yang tercatat di bursa ingin dikatakan tergolong syariah, boleh jadi emiten tadi memerlukan obligasi syariah sebagai pendanaan alternatifnya.

Pengertian obligasi syariah

Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) ini keluar dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah.

Merujuk kepada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, "Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo".

Pada awalnya, penggunaan istilah "obligasi syariah" sendiri dianggap kontradiktif. Obligasi sudah menjadi kata yang tak lepas dari bunga sehingga tidak dimungkinkan untuk di- syariah-kan.

Namun sebagaimana pengertian bank syariah adalah bank yang menjalankan prinsip syariah, tetap menghimpun dan menyalurkan dana, tetapi tidak dengan dasar bunga, demikian juga adanya pergeseran pengertian pada obligasi. Mulanya dikenal sebagai instrumen fixed income karena memberikan kupon dengan bunga tetap (fixed) sepanjang tenornya. Kemudian dikembangkan juga obligasi dengan kupon bunga mengambang (floating) sehingga bunga yang diterima pemegang obligasi tidak lagi tetap. Dalam hal obligasi syariah, kupon yang diberikan tidak lagi berdasarkan bunga, tetapi bagi hasil atau margin/fee.

Menarik untuk memperhatikan bahwa Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN- MUI/IX/2002 tersebut memberikan pertimbangan awal bahwa obligasi yang selama ini (konvensional) didefinisikan masih belum sesuai dengan syariah. Karenanya, obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip syariah.

Mengapa obligasi syariah?

Dari sisi pasar modal, penerbitan obligasi syariah muncul sehubungan dengan berkembangnya institusi-institusi keuangan syariah, seperti asuransi syariah, dana pensiun syariah, dan reksa dana syariah yang membutuhkan alternatif penempatan investasi.

Menariknya, investor obligasi syariah tidak hanya berasal dari institusi-institusi syariah saja, tetapi juga investor konvensional. Produk syariah dapat dinikmati dan digunakan siapa pun, sesuai falsafah syariah yang sudah seharusnya memberi manfaat (maslahat) kepada seluruh semesta alam. Investor konvensional akan tetap bisa berpartisipasi dalam obligasi syariah, jika dipertimbangkan bisa memberi keuntungan kompetitif, sesuai profil risikonya, dan juga likuid. Sementara obligasi konvensional, investor base-nya justru terbatas karena investor syariah tidak bisa ikut ambil bagian di situ!

Bagi emiten, menerbitkan obligasi syariah berarti juga memanfaatkan peluang-peluang tertentu. Emiten dapat memperoleh sumber pendanaan yang lebih luas, baik investor konvensional maupun syariah. Selain itu, struktur obligasi syariah yang inovatif juga memberi peluang untuk memperoleh biaya modal yang kompetitif dan menguntungkan.

Tetapi, sebagai catatan, tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan Obligasi Syariah, beberapa persyaratan berikut yang harus dipenuhi:

(1) Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam di antaranya adalah:

(i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

(2) Peringkat Investment Grade: (i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii) memiliki fundamental keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi publik

(3) Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index (JII)

Struktur obligasi syariah

Obligasi syariah sebagai bentuk pendanaan (financing) dan sekaligus investasi (investment) memungkinkan beberapa bentuk struktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan pada riba. Berdasarkan pengertian tersebut, obligasi syariah dapat memberikan:

(1) Bagi Hasil berdasarkan akad Mudharabah/Muqaradhah/Qiradh atau Musyarakah. Karena akad Mudharabah/Musyarakah adalah kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.

(2) Margin/Fee berdasarkan akad Murabahah atau Salam atau Istishna atau Ijarah. Dengan akad Murabahah/Salam/ Isthisna sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.

Di Indonesia, yang digunakan dalam penerbitan obligasi syariah adalah struktur Mudharabah (bagi hasil pendapatan) baik yang telah diterbitkan maupun yang akan diterbitkan dalam waktu dekat (lihat tabel). Sehingga, yang dikenal adalah obligasi syariah mudharabah.

Obligasi syariah mudharabah memang telah memiliki pedoman khusus dengan disahkannya Fatwa No: 33/DSN-MUI/ IX/2002. Disebutkan dalam fatwa tersebut, bahwa Obligasi Syariah Mudharabah adalah obligasi syariah yang menggunakan akad mudharabah. Selain telah mempunyai pedoman khusus, terdapat beberapa alasan lain yang mendasari pemilihan struktur mudharabah ini, di antaranya adalah:

(i) Bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka yang relatif panjang; (ii) Dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing) seperti pendanaan modal kerja ataupun pendanaan capital expenditure; (iii) Mudharabah merupakan percampuran kerja sama antara modal dan jasa (kegiatan usaha) sehingga membuatnya strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan (collateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas aset yang didanai; (iv) Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur Murabahah dan Bai bi-thaman Ajil menjadi Mudharabah dan Ijarah

Mekanisme atau beberapa hal pokok mengenai obligasi syariah mudharabah ini dapat diringkaskan dalam butir-butir berikut:

(i) Kontrak atau akad Mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan; (ii) Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA). Tetapi, Fatwa No: 15/DSN-MUI/IX/2000 memberi pertimbangan bahwa dari segi kemaslahatan pembagian usaha sebaiknya menggunakan prinsip Revenue Sharing; (iii) Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan Emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.

(iv) Pendapatan Bagi Hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.

(v) Pembagian hasil pendapatan ini atau keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan); (vi) Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.

Beberapa tantangan

Obligasi syariah dinilai prospektif, tetapi menghadapi tantangan yang tak sedikit. Sosialisasi yang belum cukup. Harus diakui bahwa masyarakat kita belum begitu terbiasa dengan sistem bagi hasil maupun sistem syariah lainnya. Padahal, potensi investor obligasi syariah dari ritel tergolong besar. Hal ini dimungkinkan karena denominasi obligasi syariah yang diterbitkan bisa senilai Rp 10 juta. Sekaligus menjadi edukasi bagi masyarakat untuk mulai berinvestasi dalam jangka yang lebih panjang, alih-alih hanya di deposito yang berjangka pendek.

Tantangan berikut menyangkut opportunity cost yang secara sederhana diterjemahkan sebagai "second best choice". Langsung atau tak langsung ada pembandingan atas pilihan yang ada. Karena investor base obligasi syariah secara potensial sangat luas, mau tidak mau, obligasi syariah berdasarkan bagi hasil akan menghadapi ini.

Ilustrasinya, ketika obligasi syariah mudharabah ditawarkan, emiten membandingkannya dengan suku bunga pinjaman sementara investor (terutama investor konvensional) membandingkan dengan yield obligasi konvensional. Karena sistem bagi hasil ini tidak menawarkan "fixed-predetermined return", hasilnya bisa berfluktuasi.

Misalnya suatu saat, obligasi syariah ini memberi tingkat kupon 20 persen, investor akan senang, tetapi sepertinya emiten akan merasa "kemahalan" karena membandingkan dengan pinjaman bank atau obligasi konvensional dengan bunga kupon lebih murah.

Di saat lain, obligasi syariah memberi kupon "hanya" 12 persen, emiten senang, tetapi investor akan membandingkannya dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), obligasi pemerintah, atau obligasi konvensional lainnya. Memang opportunity cost, dan penurunan kinerja pendapatan ini menjadi salah satu risiko bagi investor obligasi syariah.

Padahal, risiko investor di obligasi syariah sebetulnya mirip saja dengan investor obligasi dengan bunga mengambang. Berbedanya adalah, struktur syariah ini sesungguhnya lebih menawarkan "keadilan".

Tantangan lain adalah menyangkut perdagangan obligasi syariah di pasar sekunder yang mengemuka kepentingannya karena tujuan likuiditas (as-suyulah). Hampir semua Islamic bonds dibeli untuk investasi jangka panjang, sampai jatuh tempo. Lebih banyaknya investor yang buy and hold memang akan membuat pasar sekundernya kurang likuid. Hal ini terjadi pada Obligasi Syariah Mudharabah Indosat.

Suksesnya sebuah pasar dan instrumen keuangan, baik syariah maupun lainnya, akan tergantung pada faktor kepercayaan atas sistem dan proses, keragaman dan kualitas produk, serta keyakinan investor dan emiten untuk menggunakan produk keuangan tersebut.

Dengan kondisi yang telah diuraikan di atas, masa depan obligasi syariah masih tetap dipandang prospektif sejalan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya.


dikutip dai tulisan Iggi H Achsien. Kompas 04 Juni 2003

Daya Tarik Obligasi Korporasi


Bank Indonesia telah mulai menurunkan BI Rate dan tampaknya akan terus diturunkan secara bertahap. Ini kabar gembira bagi investor obligasi karena harga obligasi akan mengalami kenaikan. Investor umumnya merasa lebih aman berinvestasi obligasi pemerintah. Namun, potensi kenaikan harga yang lebih besar, obligasi korporasi merupakan alternatif yang lebih menarik.

Penurunan tingkat bunga akan berbanding terbalik kenaikan harga obligasi. Suku bunga yang turun berasosiasi kenaikan harga obligasi. Ini dapat dilihat pada periode penurunan suku bunga SBI tahun 2002-2004, di mana harga obligasi naik secara kontinu sampai SBI mencapai titik terendah pada Mei 2004. Tetapi, pada November 2005, saat tingkat bunga masih dalam tren naik, harga obligasi malah naik.

Bukan anomali yang terjadi. Pelaku pasar tampaknya optimistis bahwa lonjakan tinggi inflasi Oktober 2005 hanya sementara dan mereka memperkirakan laju inflasi akan turun pada bulan-bulan berikutnya. Tidak mengherankan, jatuhnya harga obligasi pada Oktober dianggap kesempatan untuk membeli karena mereka yakin inflasi dan suku bunga akan turun dalam waktu tidak terlalu lama.

Akibatnya, sejak November 2005 harga obligasi terdongkrak dan terjadi penurunan yield secara berkelanjutan. Dengan ekspektasi penurunan tingkat bunga akan berlanjut, pelaku pasar tampaknya menyadari harga obligasi masih akan menguat.

Karena dampak kenaikan harga, dari bulan Oktober 2005 sampai April 2006, imbal hasil (yield ditambah efek perubahan harga) SUN mencapai 17,09 persen. Seperti tak mau ketinggalan, obligasi korporasi juga mencetak imbal hasil tinggi, 15,11 persen pada periode yang sama.

Pada bulan April 2006, yield rata-rata SUN dan obligasi korporasi masing-masing telah turun ke 11,69 dan 14,38 persen karena kenaikan harga obligasi. Masih akan berlanjut di tahun 2006? Berdasarkan ekspektasi tingkat bunga dan besaran selisih historis yang diberikan SUN dan obligasi korporasi, diperkirakan yield obligasi tersebut masih bisa turun lebih lanjut. Arti lainnya, harga obligasi masih mungkin naik.

Tahun 2004, saat tingkat bunga SBI 1 bulan stabil di kisaran 7,33-7,43 persen, yield terendah SUN dan obligasi korporasi masing-masing 9,21 dan 11,25 persen. Saat itu SUN dan obligasi korporasi memberi selisih 1,78 dan 3,83 persen (Grafik 1).

Mengacu pada besaran selisih tersebut, dengan asumsi angka proyeksi SBI 1 bulan pada akhir 2006 sebesar 9,75 persen (Danareksa Research Institute), yield SUN dan obligasi korporasi diproyeksikan turun terus ke level 11,53 dan 13,58 persen. Tentu level ini akan bergerak dinamis mengikuti gerakan suku bunga.

Memilih yang tepat

Dari sisi potensi keuntungan, untuk beberapa bulan ke depan kelihatannya prospek obligasi korporasi lebih menjanjikan dari SUN. Obligasi SUN sudah hampir mencapai target yield akhir tahun sehingga potensi kenaikan harga sudah sangat terbatas. Istilahnya, ekspektasi tingkat bunga akhir tahun hampir seluruhnya "priced in" pada harga SUN saat ini. Sedangkan potensi kenaikan harga obligasi korporasi masih lebih besar dari kenaikan harga SUN. Selain itu, obligasi korporasi menawarkan pilihan investasi yang terdiversifikasi berdasarkan industri dan kualitas kredit (tingkat risiko) yang disukai investor.

Dilihat secara sektoral, pada saat ini sektor properti menawarkan selisih yield di atas SUN yang paling tinggi, yakni 5,85 persen. Sektor yang memiliki kualitas kredit paling baik, sektor barang konsumsi dan telekomunikasi, menawarkan selisih paling rendah, yakni masing-masing 1,45 persen dan 1,53 persen.

Risiko dan harapan

Di samping kelebihan obligasi korporasi atas obligasi SUN, perlu diperhatikan risiko. Investor obligasi korporasi menghadapi paling tidak dua risiko utama. Pertama, risiko likuiditas karena volume perdagangan obligasi korporasi masih jauh lebih rendah dari obligasi SUN. Rata-rata volume perdagangan obligasi SUN pada tahun 2005 sebesar Rp 43,4 triliun per bulan, sedangkan obligasi korporasi hanya Rp 2 triliun per bulan.

Volume perdagangan yang tipis menyebabkan pemegang obligasi korporasi lebih sulit menjual obligasinya dalam waktu singkat dengan harga wajar. Likuiditas yang rendah obligasi korporasi terjadi karena sebagian besar investornya saat ini memiliki motif investasi yang cenderung mengharapkan pendapatan kupon daripada keuntungan dari perdagangan obligasinya (capital gain).

Di masa mendatang pasar obligasi korporasi harus dibuat lebih likuid. Bapepam telah berupaya mewujudkannya, dengan mencanangkan pembentukan tiga pilar utama sistem perdagangan obligasi Indonesia. Pertama, pembentukan electronic trading platform, yang akan membuat sistem perdagangan yang cepat dan akurat.

Kedua, akan dibentuk Badan Pembentuk Harga yang independen agar tercipta harga yang kredibel dan transparan. Ketiga, Bapepam akan menunjuk dealer utama sebagai penyedia harga bid-offer yang dapat dieksekusi setiap saat (firmed prices). Jika ketiga agenda itu terlaksana, akan tercipta likuiditas pasar obligasi yang jauh lebih baik.

Ketiga pilar bisa juga mengobati luka industri reksa dana. Perlu diingat, reksa dana adalah salah satu elemen penting penyedia likuiditas pasar obligasi.

Risiko utama kedua bagi investor obligasi korporasi adalah risiko kredit, yakni kemungkinan penerbit obligasi gagal membayar kewajiban keuangannya, berupa bunga dan pokok utang. Risiko ini tidak dihadapi investasi SUN.

Walaupun demikian, ada dua hal utama yang patut diperhitungkan investor untuk masuk ke pasar obligasi korporasi. Pertama, secara keseluruhan kualitas emiten obligasi telah meningkat. Peringkat (rating) emiten obligasi naik dari rata-rata "idA-" pada tahun 2004 menjadi "idA" pada tahun 2005 (Grafik 2). Yang kedua, kisaran yield yang ditawarkan obligasi korporasi lebih lebar dari SUN. Bila kisaran yield tertinggi dan terendah obligasi SUN adalah 11,20-11,90 persen, obligasi korporasi menawarkan kisaran yield dari 11,00 sampai yang tertinggi 18,50 persen. Jadi, investor memiliki pilihan yield yang beragam sesuai profil risiko dengan preferensi atas risiko dan motif investasinya.

Mana yang lebih menarik?

Melihat karakteristik masing-masing jenis obligasi saat ini, pilihan investasi yang lebih baik tergantung motif investasi. Bagi investor yang ingin aktif berdagang dan harus menjaga likuiditas, obligasi SUN masih lebih baik walaupun potensi keuntungannya sudah terbatas. Jika mengutamakan optimalisasi imbal hasil dibanding likuiditas, obligasi korporasi merupakan alternatif yang lebih menarik.


dikutip dari tulisan Budi Susanto, Kompas, 22 Mei 2006